Sulitnya Mencari Mahbud Djunaidi

 On Sabtu, Juni 07, 2014  


Oleh Ahmad Makki | kacajendela.wordpres.com

Tak bisa mungkir, awal ketertarikan saya kepada Mahbub Djunaidi dipicu oleh kesamaan organisasi yang kami geluti; PMII. Butuh waktu lama bagi saya untuk sedikit demi sedikit menyerap kabar tentang tokoh kelahiran Betawi ini, baik yang lebih bersifat kabar burung, maupun yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Sampai pada satu waktu saya mulai akrab dengan internet dan mendapat ide untuk menanyakan perihal Mahbub Djunaidi kepada Google. Namun hingga kini saya selalu dibuat kecewa karena sedikitnya informasi terkait yang bisa saya dapatkan. Hal yang sama saya jumpai dari mesin pencari lain seperti Yahoo dan sejenisnya.

Kenyataan ini cukup membuat kening saya berkerut karena heran, kenapa ia sampai dibuat lunta sedemikian rupa? Padahal dari sedikit data yang bisa didapatkan, saya menganggap ia bisa dikategorikan sebagai tokoh besar nasional, baik sebagai aktivis, wartawan, maupun tokoh masyarakat. Saya kira orang-orang yang bergelut intens di tiga wilayah ini tak akan mengesampingkan nama Mahbub Djunaidi dari ingatannya. Jika menelisik rekam jejaknya, tentu kita bisa melihat alasan-alasannya

Sebagai aktivis
Konon Mahbub Djunaidi, yang terlahir dalam tradisi pesantren, bukanlah santri yang berhasil, bahkan ayahnya yang juga seorang kiai sempat dibuat malu oleh hal ini. Sebagai hukumannya kala itu Mahbub diwajibkan menghafal Barzanji di luar kepala (Emmy Kuswandari, 2008). Namun catatan ini berubah ketika ia memasuki dunia kemahasiswaan yang akrab dengan aktivisme. Memang, sebagai aktor perkuliahan catatan studinya tidak menggembirakan, hanya sampai tingkat dua di Fakultas Hukum UI, tetapi jika melihat perannya sebagai aktivis, kita bisa dibikin tak berkedip membaca catatannya.

Karirnya sebagai aktivis dimulai dari IPNU. Ketika itu, era akhir 50-60an, kondisi politik Indonesia tengah semrawut, kedudukan Soekarno mulai goyah. Mahbub yang ketika itu berstatus mahasiswa dan menjadi kader HMI -satu-satunya organisasi mahasiswa Islam kala itu, tergabung dalam kelompok yang tidak puas dengan keputusan HMI menjadi underbow Masyumi. Bersama kelompoknya, Mahbub memutuskan keluar dari organisasi ini. Dan setelah melalui berbagai liku perjalanan, akhirnya pada tanggal 17 April 1960, ditandai dengan Deklarasi Tawangmangu, lahirlah organisasi PMII yang hingga kini menjadi salah satu organisasi terbesar dan termasif di Indonesia. Dalam kesempatan tersebut Mahbub Djunaidi sekaligus terpilih sebagai ketua umum pertama PB PMII (1960-1967) (M. Afifudin, 2008).

Aktivitasnya di PMII ini berbarengan dengan kegiatannya di GP Ansor. Ketika itu ia menjabat Ketua II (1964-1968). Lepas dari dua posisi ini, ia langsung merangsek ke PBNU untuk mengakuisisi kursi Wakil Sekretaris Jenderal sejak 1970 sampai 1979. Catatan ini terus diperbaikinya dengan dipercaya menjadi Ketua II PBNU (1979-1984), lalu Wakil Ketua PBNU Tanfidziyah (1984-1989). (NU Online, 2008).

Sebagai penulis dan wartawan

Melalui Tetralogi Pulau Buru, alm. Pramoedya “menegur” kita untuk mengingat kembali Raden Mas Tirto Adhi Surjo yang menerbitkan Medan Prijaji. Tokoh ini ini akhirnya diinaugurasi sebagai Bapak Pers Nasional pada tahun 1973 (Jurnal Nasional, 2008). Namun nama Mahbub Djunaidi juga mesti ikut dicatat dalam sejarah pers kita, karena ialah yang memberi landasan hukum bagi pers nasional dengan menyurun RUU tentang ketentuan pokok pers ketika ia menjadi anggota DPR-GR/MPRS pada tahun 1965. Dalam tim pansus tersebut ia dibantu oleh Sayuti Melik, RH Kusman, Soetanto Martoprasonto, dan Said Budairi (M. Afifudin, 2008).

Sosok Mahbub memang dikenal sangat kental dengan dengan dunia jurnalistik. Dalam dunia berita ini Mahbub pun sempat menjabat posisi-posisi penting seperti pemimpin harian Duta Masyarakat (1958), dan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1965, kemudian Ketua Dewan Kehormatan PWI, sejak 1979 (Tempo, 2008). Sebagai seorang kolumnis pun ia menunjukkan stamina yang patut diteladani. Tercatat selama sembilan tahun ia mengasuh rubrik Asal-Usul di Kompas, yang kemudian diterbitkan dalam buku berjudul Mahbub Djunaidi Asal-Usul (M. Afifudin, 2008). Selain itu ia juga rutin menulis di majalah Tempo yang juga kemudian dibukukan dengan judul Kolom demi Kolom (Sobron Aidit, 2008). Selain dua media di atas, tulisan-tulisan Mahbub Djunaidi kerap dimuat oleh Sinar Harapan, Pikiran Rakyat, dan Pelita.

Namun konon Mahbub lebih merasa akrab dengan dunia sastranya, paling tidak begitulah yang pernah didengar langsung Sobron Aidit dari mulut tokoh yang dianggap salah satu pembaharu NU ini. Memang Mahbub pernah menerbitkan novel berjudul Dari Hari ke Hari, serta Maka Lakulah Sebuah Hotel yang dituliis dalam penjara, bersamaan dengan terjemahannya atas Road to Ramadhan karya Haikal. Konon Mahbub mengidolai penulis-penulis realis seperti Anton Chekov, Nikolai Gogol, Buya Hamka dan Pramudya Ananta Toer (Tempo, 2008). Karya terjemahannya yang lain dan sempat mendapat sukses besar berjudul 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah.

Sebagai tokoh masyarakat

Gambaran pribadi Mahbub Djunaidi yang terrekam oleh Jakob Oetama adalah seorang yang berprinsip, demokratis, moderat, dan tak pernah mencerca lawan-lawannya. Sedangkan Rosihan Anwar berpendapat bahwa Mahbub berjasa besar atas keutuhan PWI, dan menghindarinya dari kooptasi orde baru (Kompas, 2008). Pendapat dua orang tokoh senior pers ini paling tidak sedikit menggambarkan sosoknya yang relatif bersih dari konflik, meski ia telah aktif di masa orde lama, di mana kerap terjadi diskusi-diskusi ofensif, bahkan hingga taraf menyerang pribadi.

Memang pada masa orde baru ia sempat kena kurung selama dua bulan di rutan Nirbaya, bersama dengan Soebandrio, Omar Dhani dan beberapa nama lain, itu pun karena alasan yang pada saat ini sangat tidak masuk akal; dianggap menghasut karena mengusulkan pencalonan Ali Sadikin sebagai Presiden RI di depan forum mahasiswa. Namun Mahbub menganggap penahanannya tersebut sebagai peristiwa enteng. Hal ini terbaca dalam petikan sebuah surat kepada temannya yang dikirim dari dalam penjara; “Rasanya bui bukan apa-apa buat saya. Apalagi bukankah ditahan itu suatu ‘resiko bisnis’? Kata orang, penjara itu ibaratnya perguruan tinggi terbaik, asal saja kita tidak dijebloskan karena mencuri! Saya merasakan benar kebenaran misal itu…Sedangkan nonton bioskop perlu ongkos, apalagi demokrasi. Dan ongkos itu perlu dibayar! Iuran saya sebenarnya sedikit sekali. Jalan masih panjang, apapun yang terjadi mesti ditempuh…” (Emmy Kuswandari, 2008). Tokoh yang meninggal pada 1 Oktober tahun 1995 ini membuktikan kebenaran perkataannya itu dengan menghasilkan sebuah novel dan satu karya terjemahan seperti yang dibahas di atas.

***

Melihat fakta perjalanan hidupnya, memang terasa aneh jika kita mengalami kesulitan untuk mendapatkan data-data seputar Mahbub Djunaidi dari dunia maya yang konon bisa memberikan kita segalanya. Namun saya tak ingin menjadikan ini sebagai penyulut kecurigaan, apalagi sampai menisbahkannya ke mana-mana. Paling tidak saya berharap kita, bangsa Indonesia, khususnya orang-orang yang pernah mengecap kaderisasi PMII dan Nahdatul Ulama, merasa bersedih melihat kenyataan ini.

Semoga kesedihan kita menghasilkan sesuatu, sebagaimana Mahbub Djunaidi menghasilkan karya dari kesepiannya di penjara.

Ciputat, 3 Desember 2008
Sulitnya Mencari Mahbud Djunaidi 4.5 5 Kitab Maop Sabtu, Juni 07, 2014 Oleh Ahmad Makki | kacajendela.wordpres.com Tak bisa mungkir, awal ketertarikan saya kepada Mahbub Djunaidi dipicu oleh kesamaan organis...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar