Spektrum Politik Warga NU

 On Rabu, Juni 11, 2014  


Oleh: Drs HM Adenan MA | OPINI Banjarmasin Post, 2 Juni 2014

Tidak dapat dipungkiri, Nahdlatul Ulama memang organisasi keagamaan terbesar. Berdasarkan hasil survei Lembaga Survei Indonesia 2004, jumlah warga NU tidak kurang dari 60 juta orang. Tersebar di 30 Pengurus Wilayah, 339 Pengurus Cabang, 2.630 Majelis Wakil Cabang dan 37.125 Pengurus Ranting di seluruh Indonesia. Ditambah 12 Pengurus Cabang Istimewa di luar negeri.


Meskipun demikian, NU tidak pernah satu kata dalam menyalurkan aspirasi politiknya. Pada Pileg 9 April lalu misalnya, aspirasi politik warga NU betul-betul terbagi-bagi dalam banyak partai. Ada yang bertahan dan masuk partai yang berasas Islam, seperti PPP dan PKS, ada yang bergabung dengan partai berbasis massa Islam seperti PKB dan bahkan PAN. Serta, ada yang merasa cocok dengan partai berhaluan nasionalis seperti Golkar, PDIP, Gerindra dan sebagainya.

Artinya, selama ini warga NU belum maksimal menyalurkan pilihan politiknya kepada PPP maupun PKB, dua partai yang sama-sama berakar dari NU. Menurut Mohammad Qodari dari Indo Barometer, dari sekitar 186 juta pemilih saat ini (2014), 33 persen menyatakan diri sebagai warga NU dan 7-9 persen warga Muhammadiyah.

Apabila dari pemilu ke pemilu jumlah perolehan suara PPP dan PKB hanya di kisaran 10 persen bahkan kurang, berarti masih banyak warga NU yang memilih partai-partai lain. PPP maupun PKB belum menjadi pilihan utama mereka.

Bahkan, menurut KH Shalahuddin Wahid, sejak Pemilu 1955, hal itu sudah terjadi. KH Abdul Majid, orangtua Nurcholish Madjid, seorang tokoh NU memilih ikut Masyumi. Begitu juga KH Abdullah Syafi’i (orangtua Tuty Alawiyah) yang juga tokoh dan ulama NU di Jakarta, tetap memilih Masyumi. Padahal saat itu sudah ada Partai NU yang didirikan oleh KH Wahab Hasbulah, KH Ideham Chalid, dll.

Melihat kenyataan ini tampak bahwa warga Nahdiliyin sudah terbiasa berada di banyak partai di luar partai NU atau yang berafiliasi ke NU. Karena itu ketika terjadi peningkatan signifikan perolehan suara PKB, partai yang mengklaim dirinya sebagai anak kandung NU, sulit dipahami jika hal itu sebagai NU Effect. Sebab dari dulu orang NU tidak memiliki monoloyalitas dalam berpolitik. NU Effect baru bisa diterima sekiranya warga NU memiliki fanatisme kuat terhadap partai yang berasal dari NU.

Peningkatan suara PKB pada Pileg lalu, lebih bersifat sementara karena ada faktor insidental. Hampir pasti faktor itu adalah “Rhoma Effect”, yaitu adanya peran Rhoma Irama bersama massa pendukung, fans dan simpatisannya. Melalui posko Riforri (Rhoma Irama for Republik Indonesia) dan Forsa (Fans Rhoma dan Soneta) mereka cukup berkeringat untuk mendongkrak suara PKB. Di Jakarta dan beberapa kota di Jawa, Sumatera, Sulawesi, termasuk di Kalsel, Rhoma Effect cukup terasa.

Karena itu ketika elite PKB cenderung menafikan Rhoma Effect sebagai salah satu variabel dominan kontributor peningkatan suara, wajar jika Rhoma dan massa pendukungnya bereaksi dan menarik dukungannya untuk kemudian beralih mendukung pihak lain.

Pilpres 2014
Pilpres 9 Juli 2014 kembali memperlihatkan spektrum politik warga NU yang berwarna-warni. Ketua PBNU KH Said Aqiel Siradj dikabarkan mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Mahfud MD, tokoh NU yang namanya makin berkibar bahkan menjadi Ketua Tim Sukses Pemenangan pasangan ini.

Sejumlah ulama, kyai dan tokoh NU berpengaruh di Jakarta, Jawa Barat, Tengah dan Timur juga mendukung Prabowo-Hatta. Dan secara kepartaian, PPP di bawah Suryadharma Ali adalah partai paling awal yang mengusung pasangan ini, meski dengan risiko sempat mengalami konflik internal yang sudah diselesaikan secara damai.

Begitu juga dengan pasangan Jokowi - Jusuf Kalla, ternyata juga banyak mendapat dukungan warga NU. Secara kepartaian, PKB adalah partai yang cukup awal memberikan dukungan secara resmi, meskipun dengan risiko kehilangan sebagian pendukungnya terutama dari fans Rhoma Irama.

Kemudian ada juga organisasi sayap NU, dalam hal ini Anshar dan Muslimat NU, para ketuanya juga dikabarkan memberikan dukungannya pada pasangan Jokowi - Jusuf Kalla. Dukungan ini dapat pula dimengerti karena di dalam pasangan ini selain ada PKB, juga ada Jusuf Kalla yang orang tuanya H Kalla adalah salah seorang tokoh dan pendiri NU di Indonesia Timur.

Alhasil, Pileg maupun Pilpres memunculkan “perang saudara” sesama warga NU, di samping persaingan politik partai, parta tokoh dan elite bersama massa pendukung masing-masing.

Meskipun demikian banyak pula pengurus NU di pusat dan daerah memilih posisi netral. Salah satunya disuarakan Ketua PW-NU Kalsel M Syarbani Haira. Pihaknya secara kelembagaan netral dalam Pilpres ini, dalam arti tidak memihak kepada salah satu pasangan capres/cawapres. Namun secara perorangan dia memberikan kebebasan kepada warga NU untuk memilih siapa yang dikehendaki.

Akar Sejarah
Tidak satunya arah dukungan politik warga NU diduga disebabkan NU sejak lahirnya (1926) tidak otomatis sebagai organisasi politik. Bahkan, mulanya NU merasa cukup menyalurkan aspirasi politiknya kepada Masyumi, sebuah partai Islam ideologis. Beberapa tokoh NU bahkan menjadi pendiri dan tokoh Masyumi. Hanya karena beberapa perbedaan yang sulit disatukan dan NU agak terkendala menyalurkan aspirasinya, akhirnya NU terpaksa berdiri dan menjadi Partai NU 1953 dan beroleh suara signifikan pada Pemilu 1955 dan 1971. Tetapi setelah Partai NU berfusi ke PPP 1973, kembali elite dan suara NU terpecah, sampai sekarang.

Namun apa pun pilihannya, ada benang merah yang biasa menandai pilihan politik NU. Warga NU adalah masyarakat semi-tradisional yang taat pada agama dan ulama. Mereka tidak memisahkan antara agama dan negara, sebab antara keduanya bagai dua sisi mata uang. Agama dengan dukungan negara akan kuat, dan negara dengan dukungan agama akan lestari. Negara yang dijalankan oleh sebuah pemerintahan instrumen untuk mewujudkan nilai-nilai politik keagamaan.

Karena itu ketika warga NU menjatuhkan pilihannya kepada partai, caleg dan capres tertentu, tetaplah motivasi agama ikut menyertai. Siapa pun orangnya, jika memiliki komitmen dan mau memperjuangkan agama dan negara secara bersama-sama, ke sanalah mereka menjatuhkan pilihannya. Artinya selain faktor ketokohan calon, visi dan misi bernuansa agama juga menjadi daya tarik warga NU. Ini tantangan Pileg dan Pilpres sekarang dan mendatang. (*)

Penulis adalah Fungsionaris NU dan Kepala MTsN Mulawarman Banjarmasin
Spektrum Politik Warga NU 4.5 5 Kitab Maop Rabu, Juni 11, 2014 Oleh: Drs HM Adenan MA | OPINI Banjarmasin Post, 2 Juni 2014 Tidak dapat dipungkiri, Nahdlatul Ulama memang organisasi keagamaan terbesar...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar